AQUACULTURE PRIMa
Info Teknis Seputar Budidaya Udang
Sabtu, 03 Maret 2018
AQUAMIMICRY SEBUAH KONSEP KESEIMBANGAN PLANKTON ALAMI
Prevalensi berbagai penyakit yang mempengaruhi industri
akuakultur udang dan udang telah mendorong pengembangan berbagai strategi
pengelolaan kesehatan. Beberapa di antaranya mencakup biosecurity dan sumber
hewan bebas patogen yang lebih tinggi, dan dalam kasus yang lebih ekstrim,
menggunakan bahan kimia dan antibiotik.
Namun, karena sifat budidaya tambak terbuka, di mana
sebagian besar udang hasil budidaya diproduksi secara global, seringkali tidak
memungkinkan untuk menumbuhkan hewan dalam gelembung dengan benar-benar
menghilangkan kehadiran semua patogen.
Sebenarnya, dalam sistem tambak tradisional, penumpukan
sedimen yang terus-menerus dan penurunan kualitas air selanjutnya diketahui
mendorong pertumbuhan banyak patogen termasuk Vibrios patogenik. Mempromosikan
pertumbuhan mikroalga dapat membantu menjaga kualitas air, namun terkadang
sulit dikelola, dan sistem ini rentan terhadap pH dan fluktuasi oksigen terlarut
yang dapat menekan hewan.
Teknologi bioflok diperkenalkan untuk mengatasi beberapa
masalah ini. Hal ini dilakukan dengan penambahan karbon ekstra ke air, yang
menyebabkan konversi bahan organik yang berpotensi berbahaya dan lumpur menjadi
biomassa habis pakai. Proses seperti itu bisa menghilangkan atau mengurangi
secara signifikan kebutuhan akan pertukaran air, dan dengan demikian lebih
ramah lingkungan sekaligus menawarkan biosekuritas yang lebih besar.
Teknologi bioflok telah sukses di seluruh dunia; Namun,
biaya operasi dapat secara signifikan lebih tinggi untuk mempertahankan bioflok
dalam suspensi konstan. Pendekatan yang berpotensi lebih seimbang antara
penggunaan mikroalga dan bioflok dalam akuakultur dikenal dengan nama
Aquamimicry. Pada artikel ini, saya menyajikan deskripsi sederhana tentang
protokol dan implikasi untuk penggunaannya untuk membantu petani
mempertimbangkan konsep ini, yang saya yakini akan menjadi praktik standar yang
meluas di industri ini.
Aquamimicry mensimulasikan kondisi alam
Aquamimicry adalah konsep yang berusaha mensimulasikan
kondisi estuaria alami dengan menciptakan mekar zooplankton (terutama copepoda)
sebagai nutrisi tambahan bagi udang budidaya dan bakteri bermanfaat untuk
menjaga kualitas air. Hal ini dilakukan dengan cara memfermentasi sumber
karbon, seperti beras atau dedak gandum, dengan probiotik (seperti Bacillus
sp.) Dan melepaskan nutrisi mereka. Metode ini dalam beberapa hal mirip dengan
teknologi bioflok, namun ada beberapa perbedaan penting.
Pertama, jumlah karbon tambahan berkurang dan tidak
bergantung secara ketat pada rasio terhadap input nitrogen. Kedua, daripada
mendorong dan menangguhkan bioflocs dalam jumlah tinggi, sedimen dikeluarkan
dalam sistem yang lebih intensif untuk digunakan kembali oleh hewan lain.
Idealnya, air meniru tampilan dan komposisi air muara alami
yang meliputi mikroalga dan zooplankton. Ketika keseimbangan seperti itu
terpenuhi, pH dan fluktuasi oksigen terlarut diminimalkan, dan tidak memerlukan
antibiotik atau bahan kimia karena dedak padi memberikan nutrisi untuk
zooplankton dan bakteri (sebagai prebiotik) untuk menciptakan
"synbiotics," yang merupakan suplemen makanan. atau bahan yang secara
sinergis menggabungkan pra dan probiotik.
Gagasan awal pengembangan protokol ini terjadi di Thailand
selama wabah penyakit pada 1990-an. Pada saat itu, diketahui bahwa di beberapa
tambak udang yang luas, udang tersebut tumbuh dengan baik dan bebas dari
penyakit, meski berada di dekat kolam yang terinfeksi. Tidak ada formulasi
aquafeeds yang digunakan, karena petani memiliki sumber daya yang terbatas.
Sebagai gantinya, hanya dedak padi yang digunakan dan dianggap sebagai alasan
potensial untuk kinerja yang lebih baik di kolam yang luas. Seiring waktu, dan
setelah percobaan dan kesalahan yang ekstensif, sebuah protokol perlahan
dikembangkan.
Ketika konsep ini pertama kali diperkenalkan di luar
Thailand, banyak petani memutuskan untuk pertama kali mencoba konsep ini di
kolam dengan kinerja terburuk. Ini kadang-kadang dilihat sebagai upaya
kesempatan terakhir sebelum beralih ke peternakan ikan atau keluar dari
industri akuakultur sama sekali. Namun, dalam batch pertama, biaya produksi
tambak dikurangi setengahnya, dan praktik tersebut secara signifikan meluas ke
kolam yang lebih banyak. Saat ini, beberapa bentuk konsep ini sedang diadopsi
di berbagai negara termasuk Vietnam, China, India, Ekuador, Korea dan Mesir.
Seperti halnya peternakan, ada beberapa variasi dalam protokol tergantung pada
sumber daya yang ada dan pengalaman petani.
Keberhasilan pendekatan ini mencakup penurunan rasio
konversi pakan, meminimalkan pertukaran air dan menghilangkan penyakit.
Berbagai faktor diyakini berkontribusi, seperti nutrisi keseluruhan hewan yang
lebih baik, mengurangi stres yang terkait dengan kualitas air yang berfluktuasi,
dan meminimalkan kondisi lingkungan yang menguntungkan patogen.
Persiapan kolam
Dengan menggunakan tas saringan (200-300 μm), kolam tersebut
diisi sampai kedalaman 80-100 cm, probiotik (Bacillus sp.) Ditambahkan, dan
kolam tersebut diseret dalam rantai selama tujuh hari. Jika kolam berjajar
digunakan, tali berat sebaiknya digunakan untuk mencegah robeknya liner.
Penyerapan lembut dilakukan untuk meningkatkan pencampuran tanah dengan
probiotik dan meminimalkan pengembangan biofilm yang berpotensi menjadi racun
bagi udang.
Untuk menghilangkan ikan atau telur kecil, kue pengunyah
(pada 20 ppm) dioleskan bersama dedak padi atau dedak gandum (tanpa kulit) pada
suhu 50-100 ppm. Penambahan lebih banyak menghasilkan lebih banyak copepoda
mekar, yang seharusnya terjadi dalam dua minggu. Sementara itu, aerasi penuh
diperlukan untuk pencampuran yang tepat, untuk mengurangi kadar kue yang
menggoda, dan untuk mencampur nutrisi dan probiotik di kolam.
Penyiapan dan penggunaan sumber karbon
Sumber karbon yang kompleks, seperti beras atau dedak gandum
(tanpa kulit), dicampur dengan air (rasio 1: 5-10) dan probiotik di bawah
aerasi selama 24 jam. Jika dedak itu bubuk halus, seluruh campuran ditambahkan
perlahan ke kolam. Jika hancur, "susu" atau "jus" atas
ditambahkan ke kolam dan padatan dedak diumpankan ke ikan di kolam biofilter.
PH air inkubasi harus antara 6-7 dan disesuaikan jika perlu.
Setelah udang ditebar, yang dapat berada pada kepadatan
30-100 hewan / meter persegi, jumlah dedak fermentasi yang akan ditambahkan
bergantung pada sistem dan tingkat kekeruhan. Sebagai pedoman umum, 1 ppm
dianjurkan untuk sistem yang luas, sedangkan untuk sistem intensif, 2-4 ppm
digunakan. Kekeruhan ideal (menggunakan disk Secchi) harus sekitar 30-40 cm.
Jika lebih tinggi, kurang dedak harus ditambahkan dan sebaliknya.
Selama periode pertumbuhan, probiotik tambahan harus
ditambahkan setiap bulan untuk membantu menjaga kualitas air dan untuk
mempromosikan pembentukan biocolloids (flok yang terdiri dari detritus,
zooplankton, bakteri, dan lain-lain). Setelah 15 hari setelah persediaan tambak
dengan udang, perlahan gerakkan rantai atau tali pada dasar tambak (tapi tidak
di atas saluran pembuangan tengah) dianjurkan untuk meminimalkan pembentukan
biofilm.
Untuk sistem yang luas, pada umumnya tidak diperlukan
pengelolaan atau tindakan kualitas air lebih lanjut. Namun, untuk sistem yang
intensif, ada kebutuhan untuk menghilangkan sedimen berlebih (mis., Melalui
saluran pembuangan utama) ke kolam sedimentasi dua jam setelah masing-masing
menyusui. Terlepas dari jenis sistemnya, pH dilaporkan stabil sepanjang.
Sedimentasi dan kolam biofilter
Kolam sedimentasi harus lebih dalam (sampai 4 m di tengah
dan 2 m di tepinya) daripada kolam penanaman untuk memungkinkan akumulasi
sedimen. Di dalamnya, spesies ikan terbawah - seperti ikan lele atau bandeng,
tergantung pada kadar air - harus ditebar dengan kepadatan rendah. Mereka
memberi makan dan mengaduk detritus membantu membersihkan sistem kolam, dan
ikan tersebut dapat menyediakan makanan bagi para pekerja pertanian.
Sedimen dari kolam tumbuh mendorong produksi cacing dan
invertebrata bentik lainnya yang dapat dikonsumsi ikan. Sementara jika tali
atau garis ada, ini sering dan dijajah dengan kuat oleh kerang kuda. Tidak
hanya membantu dengan menyaring lebih lanjut air tambak dan menghilangkan
padatan tersuspensi, namun kemudian bisa dihancurkan dan diumpankan ke udang
selama produksi.
Setelah kolam sedimentasi, air meluap ke kolam lain untuk
meningkatkan waktu retensi dan bertindak sebagai biofilter. Ikan seperti ikan
nila dapat ditambahkan dengan kepadatan rendah. Dari sini, air meluap kembali
ke kolam rintangan dengan sedikit limbah nitrogen. Setiap tiga tahun,
sedimentasi harus dibersihkan.
Saat ini rasio tambak ini adalah 1: 1 (perlakuan terhadap
kolam growout), yang jelas membutuhkan lahan yang relatif luas dalam kaitannya
dengan produksi. Namun, percobaan saat ini sedang dilakukan untuk secara
substansial mengurangi rasio ini dengan menyesuaikan aliran air, masukan karbon
dan kombinasi organisme hidup yang berbeda di kolam perawatan.
Setelah panen
Setelah panen, pantat kolam dilaporkan tidak berbau, tanah
hitam atau sedimen yang terakumulasi, dan kolam tersebut seringkali siap
dipersiapkan untuk siklus produksi berikutnya dengan penambahan dedak dan
probiotik hasil fermentasi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Petani
telah menyatakan bahwa udang memiliki warna merah yang lebih dalam saat
dimasak, yang bisa dari konsumsi pigmen tambahan dari makanan alami yang
dihasilkan di kolam.
Meski belum ada informasi yang tersedia, kandungan asam
lemak omega-3 pada udang kemungkinan akan ditingkatkan dan akan memberikan
manfaat kesehatan tambahan. Ini sangat relevan, karena industri akuakultur
semakin bergantung pada bahan akuatir hasil bumi yang dapat menghasilkan
tingkat asam lemak omega-3 yang lebih rendah pada produk akhir.
Perspektif
Dua kelemahan utama pada pendekatan Aquamimicry termasuk
potensi kesulitan menerapkan konsep ini pada kondisi indoor, serta penggunaan
kolam perawatan yang relatif besar. Dalam sistem raceway dalam ruangan di
Korea, penerapan konsep ini dilaporkan memberikan hasil yang lebih baik bila
dibandingkan dengan sistem berbasis biofloc. Namun, menjadi perlu untuk
membuang sedimen berlebih, yang tidak digunakan kembali lagi.
Untuk mengatasi masalah kolam pengobatan yang besar, saat
ini ada upaya yang dilakukan untuk mengurangi rasio ini dengan kolam yang tidak
rata, namun pada sistem yang lebih luas, tidak diperlukan kolam pengolahan.
Seperti halnya teknologi akuakultur baru, petani yang tertarik dengan protokol
baru ini pertama-tama harus melakukan uji coba untuk menentukan apakah ini
dapat berhasil diterapkan pada keadaan khusus mereka.
Karena dikabarkan kualitas udang yang lebih baik dapat
diproduksi dengan biaya lebih rendah dan dengan cara yang lebih berkelanjutan,
konsep Aquamimicry cepat menyebar ke seluruh dunia. Beberapa interpretasi
konsep niscaya akan menjadi standar baru dalam budidaya udang dan memberi
manfaat bagi generasi penerus di industri ini.
Catatan penulis:
Nicholas Romano, Ph.D.
Dosen Senior (Fisiologi Ikan)
Departemen Akuakultur, Fakultas Akuakultur
Malaysia.
Rabu, 24 Agustus 2016
Peralihan Sistem Plankton ke Bioflok dalam Budidaya Udang Vannamei
Udang Putih
(Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas perikanan laut Indonesia yang
memiliki nilai ekonomi tinggi baik di pasar domestik maupun global. Proses
budidaya komoditas ini sudah berkembang secara pesat terutama penggunaan
teknologi berdasarkan pada proses autotrof yang menggunakan proses fotosintesis
fitoplankton sebagai faktor penentu produktivitas perairan tambak. Penggunaan
sistem ini masih memiliki beberapa permasalahan seperti kualitas air dan
konversi pakan yang tidak stabil. Untuk itu, perlu dikembangkan suatu sistem
budidaya efektif untuk memecahkan permasalahan tersebut melalui sistem budidaya
berbasis teknologi bioflok yang menggunakan komunitas mikroorganisme (mikroalga
dan bakteri).
Sebagaimana yang diketahui,
pakan yang digunakan dalam budidaya udang memiliki kandungan protein tinggi.
Pakan yang diberikan tidak seluruhnya mampu diasimilasi oleh tubuh ikan. Hanya
sebagian saja yang mampu diasimilasi kedalam tubuh sedangkan sisanya terbuang
ke perairan dalam bentuk sisa pakan dan buangan metabolit. Sisa pakan dan
buangan metabolit ini menjadi suatu masalah pada tambak udang karena unsur
protein yang terlarut akan segera membentuk amoniak yang sangat berbahaya bagi
organisme akuatik khususnya udang.
Amonia (NH3) merupakan
produk akhir utama dalam pemecahan protein pada budidaya udang maupun hewan
akuatik lainnya. udang mencerna protein pakan dan mengekskresikan amonia
melalui insang dan feses. Jumlah amonia diekskresikan oleh ikan bervariasi
tergantung jumlah pakan dimasukkan ke dalam kolam atau sistem budaya. Amonia
terdapat pada kolam dari bakteri dekomposisi bahan organik seperti dekomposisi
pakan (Durborow et al. 1997a).
Total amonia nitrogen (TAN)
merupakan kombinasi antara amonia yang tidak terionisasi (NH3) dan amonium
(NH4) (Gambar 1). Penanganan konsentrasi TAN yang tinggi cukup sulit dilakukan
namun, pemberian aerasi dapat mengurangi efek beracun dari NH3. Selain itu,
tingkat TAN dapat dapat dikurangi melalui peningkatan aerobik Melalui
penggunaan aerasi, gas amonia dapat berdifusi dari air kolam ke udara. Namun,
penelitian telah menunjukkan bahwa aerasi tidak efektif mengurangi konsentrasi
amonia karena volume air dipengaruhi oleh ukuran aerator. Masalah amoniak (NH3)
pada kolam juga dapat diatasi dengan memberikan bakteri yang biasa hidup
diperairan dan memiliki kemampuan untuk mereduksi amonia menjadi bentuk lainnya
yang tidak bersifat toksik bagi ikan (Hargreaves and Tucker 2004).
Jumlah amonia diekskresikan
oleh ikan bervariasi tergantung jumlah pakan dimasukkan ke dalam kolam atau
sistem budaya (Durborow et al. 1997a). Amonia merupakan senyawa yang sangat
berbahaya karena dapat mengganggu fungsi fisiologis dalam tubuh bagi organisme
akuatik. Selain menggangu fungsi dalam tubuh, konsentrasi amonia yang tinggi
disuatu perairan dapat menyebabkan penurunan beberapa parameter kualitas air lainnya.
Meningkatnya konsentrasi amonia akan diikuti dengan peningkatan pH air yang
berimplikasi pada penurunan kemampuan oksigen terlarut dalam air
(Dissolve oxygen). Peningkatan pH yang diikuti dengan penurunan konsentrasi
oksigen terlarut dapat menimbulkan gangguan fungsi fisiologi serta metabolisme
seperti respirasi dan penurunan sistem kekebalan tubuh. Ketika terjadi gangguan
seperti ini, maka udang sangat rentan terhadap serangan mikroorganisme patogen
dan berpotensi mengalami kegagalan panen bahkan kerugian yang cukup besar. Oleh
karena itu, diperlukan suatu manajemen kualitas air yang baik sebagai suatu
alternatif pencegahan.
Menurut Guttierrez-Wing dan
Malone (2006), metode yang biasa digunakan dalam mengatasi masalah buangan
akuakultur adalah dengan sistem ganti air secara terus menerus. Kelemahan yang
dimiliki oleh metode ini adalah diperlukannya air baru dalam jumlah banyak dan
energi yang cukup besar terutama untuk kegiatan produksi skala menengah
sehingga metode ini dinilai kurang efisien. Metode kedua yang bisa digunakan
adalah sistem resirkulasi (RAS – recirculating aquaculture system) dengan
menggunakan berbagai tipe biofilter berbeda dalam treatment pengolahan limbah.
Kelemahan metode ini adalah diperlukannya dana investasi dan biaya operasional
yang besar termasuk biaya energi dan tenaga kerja. Salah satu alternatif yang
ditawarkan untuk pencegahan penyakit dan perbaikan kualitas lingkungan perairan
tambak adalah dengan penggunaan probiotik atau menerapkan konsep rasio C/N.
Penggunaan probiotik yang berasal dari bakteri baik dapat membantu mengatasi
permasalahan kualitas air khususnya pada tambak udang. Bakteri probiotik yang
biasa digunakan ditambak udang merupakan jenis probiotik yang telah dibuktikan
mampu menangani permasalahan akumulasi amoniak akibat sedimentasi tambak.
Salah satu jenis probiotk
yang digunakan dalam budidaya udang vanamei di Indonesia adalah jenis Bacillus
subtilis. Bakteri ini asalah salah satu bakteri probiotik yang mampu membentuk
bioflok. Bacillus subtilis seperti anggota genus Bacillus lainnya, adalah
bakteri yang sangat umum ditemukan dalam tanah, air, udara, dan materi tanaman
membusuk (Anonim 2010). Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflok adalah
kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat (PHA), terutama
yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan
sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi
substansi pembentuk bioflok. Prinsip kerja yang sama yang melibatkan PHA
sebagai polimer pembentuk ikatan kompleks mikroorganisme dengan bahan organik
dan anorganik adalah seperti pembentukan natta de coco, natta de soya dan
klekap di tambak (Anonim 2009).
Penambahan unsur karbon
organik melalui penambahan karbon organik pada kolam mampu megatasi
permasalahan amoniak karena sejumlah bakteri dalam air mampu memanfaatkan unsur
nitrogen yang berasal dari sisa pakan namun kinerja bakteri ini menjadi
terhambat akibat terbatasnya sumber karbon dalam air (Hargreaves and Tucker
2004). Selain menghasilkan protein yang cukup tinggi, penggunaan sistem ini
juga membantu para petambak dalam hal minimisasi ganti air. Proses minimisasi
ganti air terjadi akibat adanya bakteri yang mampu memanfaatkan berbagai
senyawa hasil buangan yang bersifat toksik atau sisa pakan menjadi biomasa
bakteri sehingga mampu memperbaiki kualitas air. Menurut Avnimelech (1999)
dalam Najamuddin (2008), kontrol nitrogen anorganik dalam sistem perairan
akuakultur dapat diatur melalui rasio C/N. Hal ini merupakan suatu teknik yang
lebih praktis dan murah untuk mengurangi penumpukann nitrogen anorganik di
dalam kolam. Kegiatan kontrol nitrogen dapat dilakukan melalui pemberian karbon
sebagai sumber energi atau pakan bagi bakteri. Nitrogen akan berkurang karena
terjadi penyusunan protein atau SCP (single cell protein) oleh mikroba.
Mekanismenya ialah dengan penambahan karbon, amonium akan tereduksi karena
dimanfaatkan bakteri untuk memproduksi protein mikroba (Najamuddin 2008).
Permasalahan lain yang
muncul pada petambak udang adalah besarnya biaya produksi akibat besarnya biaya
pakan. Konsep bioflocs merupakan konsep yang menawarkan hasil akhir berupa
pengurangan biaya pakan melalui terbentuknya single cell protein yang mampu
meminimalisasi ketergantungan pakan. Menurut Schryver et al (2008), teknologi
bioflok adalah suatu sistem budidaya bakteri heterotrof dan alga dalam suatu
gumpalan flocs secara terkontrol dalam suatu wadah budidaya atau merupakan
suatu sistem yang memanipulasi kepadatan dan aktivitas mikroba sebagai suatu
cara megontol kualitas air dengan mentransformasikan amoniun menjadi protein
mikrobial agar mampu mengurangi residu dari sisa pakan (Avnimelech et al.,
1989, 1992; Crab et al., 2007; dalam Avnimelech and Kochba
2009). Bio-flocs dibentuk dengan asupan karbon organik atau anorganik yang
secara sengaja ditambahkan ke kolam atau tambak seperti molase. Hal ini
merupakan suatu teknik yang lebih praktis dan murah untuk mengurangi
penumpukann nitrogen anorganik di dalam kolam. Kegiatan kontrol nitrogen dapat
dilakukan melalui pemberian karbon sebagai sumber energi atau pakan bagi
bakteri. Nitrogen akan berkurang karena terjadi penyusunan protein atau SCP
(single cell protein) oleh mikroba. Mekanismenya ialah dengan penambahan
karbon, amonium akan tereduksi karena dimanfaatkan bakteri untuk memproduksi
protein mikroba (Najamuddin 2008).
Beristain (2005) dalam
Najamuddin (2008), menyatakan bahwa karbon dan nitrogen merupakan satu kesatuan
pembentuk jaringan biomassa bakteri. Melalui penambahan unsur karbon diharapkan
kebutuhan bakteri dalam air akan karbohidrat tercukupi. Ketika unsur pembentuk
biomasa bakteri tercukupi, maka dapat diharapkan terjadi proses pertumbuhan
bakteri pembentuk flocs secara signifikan jika dibandingkan dengan keadaan
tanpa bioflocs. Flocs yang terbentuk di tambak dapat mengatasi permasalahan
protein Menurut Azmin et al. (2007), struktur bioflocs mampu menyumbangkan
nilai protein sebesar 50-53%. Hal ini merupakan suatu angka yang cukup baik
karena melalui sumbangan protein tersebut dapat membantu dalam pemenuhan
kebutuhan protein pada udang vaname. Selain protein zat lain yang juga mampu
disumbangkan oleh bioflocs adalah energi sebesar 21%. Sehingga penerapan
teknologi bioflocs juga membantu meminimalisasi penggunaan pakan tambahan pada
tambak udang.
Selain keuntungan diatas
penggunaan bioflocs juga membantu dalam manajemen oksigen dalam air, sebagai
biosecurity dengan menekan bakteri patogen serta manajemen kualitas tanah.
Bioflocs terbentuk, jika secara visual di dapat warna air kolam coklat muda
(krem) berupa gumpalan yang bergerak bersama arus air. pH air cenderung di
kisaran 7 (antara 7,2 – 7,8) dengan kenaikan pH pagi dengan pH sore yang kecil
(rentang pH antara 0,02–0,2 ) (Anonim 2009).
Tidak semua bakteri dapat membentuk bioflocs
dalam air, seperti dari genera Bacillus hanya dua spesies yang mampu membentuk
bioflocs yaitu Bacillus subtilis dan Bacillus cereus. Salah satu ciri khas
bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa
Polihidroksi alkanoat (PHA), terutama yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat.
Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer
antara substansi substansi pembentuk bioflocs. Prinsip kerja yang sama yang
melibatkan PHA sebagai polimer pembentuk ikatan kompleks mikroorganisme dengan
bahan organik dan anorganik adalah seperti pembentukan natta de coco, natta de
soya dan klekap di tambak (Anonim 2009). Bioflocs terdiri atas partikel serat
organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam
kalsium karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead
body cell), ragi, jamur dan zooplankton (Jorand et al., 1995 dalam Schryver et
al., 2008)
Pemberian bakteri Bacillus
subtilis pada tambak udang yang dikombinasikan dengan penerapan bioflocs
melalui penambahan C organik diharapkan mampu menghasilkan flocs yang
didominasi oleh bakteri ini. Bakteri ini memiliki kemampuan memanfaatkan
karbohidrat karena memiliki enzim seperti α-galaktosidase. Melalui enzim ini
diharapkan sumber karbon yang ditambahkan ke dalam tambak udang dapat
dimanfaatkan oleh Bacillus subtilis untuk dkonversi menjadi biomasa sel.
Menurut Avnimelech (1999), kontrol nitrogen anorganik dapat diatasi
denganmenggunakan prinsip pengubahan karbon dan nitrogen melalui proses
mikrobial. Prosesnya adalah sebagai berikut:
C organik CO2 + energy + C yang diasimilasi
oleh sel mikroba
Bacillus
subtilis memiliki banyak manfaat terutama dalam aplikasi industri. bakteri ini
digunakan untuk menghasilkan berbagai enzim, seperti amilase dan enzim
protease, termasuk subtilisin. Berbagai enzim yang dihasilkan oleh bakteri ini
seperti amilase digunakan untuk memecah sumber karbon yang dihasilkan dan
protease untuk memecah protein. Menurut Ochoa dan Olmos (2010), bakteri dari
golongan Bacillus memiliki enzim protease yang tinggi dan mampu memanfaatkan
protein yang terdapat pada pakan tambahan pada tambak pemeliharaan udang.
Bakteri ini bekerja sebagai agen bioremediasi detritus organik pada tambak dan
menghasilkan molekul yang lebih sederhana bagi organisme lain seperti bakteri
nitrifikasi untuk berkembang. Prinsip kerja yang digunakan oleh bakteri ini
adalah proses oksidasi. Proses oksidasi dilakukan untuk memecah senyawa
kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana guna menghasilkan energi bagi
pertumbuhan atau peningkatan biomasa.
Berkembangnya bakteri
Bacillus subtilis yang diharapkan disertai dengan berkembangnya bakteri
nitrifikasi diharapkan mampu mengatasi permasalahan amonia (NH3) dalam tambak.
Menurut Antony dan Philips (2006), bakteri nitrifikasi berperan pengubahan
amonia menjadi nitrit dan nitrat dalam siklus nitrogen sehingga mampu mengatasi
akumulasi bahan organik dan amonia dalam air. Melalui teknik ini diharapkan
akan diperoleh kualitas air yang baik serta mengurangi penggunaan pakan buatan
dan pergantian air pada tambak.
Minimisasi penggunaan pakan buatan secara tidak langsung berperan dalam
mengurangi ketergantungan penggunaan tepung ikan. Seperti yang kita ketahui,
bahan baku tepung ikan berasal dari kegiatan penangkapan yang saat ini telah
mendekati overfishing. Manfaat lain yang diperoleh adalah mengurangi polusi
lingkungan dan menghemat penggunaan air bersih. Melalui pendekatan ini,
pergantian air ditekan hingga mencapai angka nol sehingga dalam satu kali
siklus produksi hanya membutuhkan satu kali penggunaan air saja pada awal
penebaran benur. Penerapan teknologi bioflocs berbasis probiotik ini diharapkan
mampu mendorong program pemerintah dalam upaya peningkatan produksi perikanan
khususnya produksi udang dengan dukungan lingkungan budidaya yang sehat (health
pond).
Disalin dari : Eko Winasis
Kamis, 03 Maret 2016
PERLAKUAN KUPRI UNTUK MENGENDALIKAN FITOPLANKTON
Dr Claud E. Boyd
Fakultas Perikanan dan Budidaya Air Terpadu
Univesitas Auburn
Alabama USA
Kupri sulfat (CuSO4) dikenal sebagai algisida butiran, disebut juga
butiran tajam berwarna biru atau batu biru.
Algisida: bahan kimia yang digunakan untuk menghambat
atau menghentikan pertumbuhan alga.
Ringkasan
Kupri Sulfat digunakan secara luas sebagai algisida di tambak dan
sistem perairan lainnya. Meskipun kupri
sulfat cepat hilang dalam air tambak, ion-ion kupri dapat berbahaya bagi hewan
air. Ketika terikat dengan berbagai
senyawa organik, sifat racun ion-ion kupri terhadap hewan air menjadi berkurang
dan pemecahan konsentrasi kupri dapat dijaga dengan aman untuk beberapa hari.
Kupri adalah komponen mineral minor di dalam
air di alam. Pada air laut, konsentrasi
kupri yang biasa ditemui antara 0,002 – 0,004 mg/l, sedang pada air tawar konsentrasi kupri biasa ditemui anatara
0,005 – 0,020 mg/l. Pada konsentrasi
rendah kupri adalah mikronutrien yang dibutuhkan oleh semua tanaman, tetapi
diatas 0,05 mg/l dapat menjadi racun bagi alga.
Pada konsentrasi rendah, kupri juga menjadi nutrien essensial bagi
hewan, tetapi pada konsentrasi tinggi akan menjadi racun.
Fitoplankton, khususnya Blue Green Algae
(BGA) sangat sensitif terhadap kupri, sebab itu logam ini digunakan secara luas
sebagai algisida pada kolam persediaan air, kolam renang, menara-menara
pendingin, tambak-tambak ikan peliharaan, tambak-tambak budidaya, dan sisitem
perairan lainnya. Bentuk kupri yang
digunakan sebagai algisida secara tradisional adalah kupri sulfat. Bahan kimia ini berwarna biru, berbentuk
butiran-butiran kecil biasa disebut butiran tajam berwarna biru atau batu
biru. Kupri sulfat mengandung kupri murni
26% dari berat.
Ketika digunakan pada air, kupri
sulfat cepat terlarut menghasilkan ion-ion kupri dan sulfat. Pada tambak-tambak budidaya, ion-ion kupri
menjalani beberapa proses alamiah seperti terlihat pada gambar 1 diatas.
Jumlah ion-ion kupri bervariasi
tergantung pada pH larutan. Jika
dianggap mineral yang mengontrol tingkat kelarutan kupri adalah tenorit (CuO),
pada pH 7 konsentrasi keseimbangan ion kupri
adalah 0,02800 mg/l dan pada
pH 8 adalah 0,00028 mg/l (Tabel 1).
pH
|
Konsentrasi ion Kupri (mg/l)
|
5
6
7
8
9
|
28
2,8
0,028
0,00028
0,0000028
|
Penggunaan
Algisida
Kupri
dapat hilang dari dalam air melalui tiga proses, yaitu terserap oleh tanaman
air yang pada saat mati akan mengendap di dasar tambak sebagai endapan bahan
organik, membentuk kupri oksida sebagai hasil endapan ion-ion kupri secara
cepat, dan terikat pada koloid lempung
dan bahan organik di dasar tanah lewat proses pertukaran kation.
Ion
kupri adalah bahan beracun bagi tanaman, tetapi sedikit beracun bagi hewan
air. Konsentrasi yang digunakan
betul-betul dipertimbangkan sebagai kontrol fitoplankton yang dapat diterima,
yaitu antara 0,05 – 0,06 mg kupri/ l air.
Konsentrasi kupri maksimal yang dianjurkan untuk ikan biasanya adalah
0,02 mg/l pada air yang bersifat asam
dan alkalinitas rendah, dan 0,2 mg/l pada air dengan pH dan alkalinitas
tinggi.
Kelarutan
ion-ion kupri terbesar adalah pada pH rendah, dan menurun dengan cepat dengan
meningkatnya pH (Tabel 1). Hal ini
menghasilkan dua masalah dalam penggunaan kupri sulfat sebagai algisida. Pada pH rendah, konsentrasi ion-ion kupri
yang relatif tinggi mendorong daya racun terhadap fitoplankton, tetapi akan
beresiko terhadap spesies yang dibudidayakan.
Pada pH lebih tinggi, ion-ion kupri tidak begitu berbahaya bagi spesies
yang dibudidayakan, tetapi akan lebih sulit untuk mencapai konsentrasi ion-ion
kupri yang cukup untuk mengontrol fitoplankton.
Produk
Kupri Bentuk Terikat
Ion-ion
kupri dapat terikat dengan senyawa-senyawa organik seperti trietanol amin, asam
diamin tetrasetat, lignin sulfonat, atau dengan asam sitrat. Keuntungan perlakuan air dengan produk kupri
terikat ialah konsentrasi kupri yang terlarut dapat dijaga pada level tinggi
untuk beberapa hari, bahkan pada air dengan pH dan alkalinitas yang tinggi.
Kupri
terikat juga beracun terhadap fitoplankton, tetapi tidak seperti pada racun ion
kupri terhadap hewan air. Jadi untuk
mengontrol fitoplankton, produk kupri terikat dapat digunakan diperairan yang
bersifat asam dan alkalinitas rendah tanpa khawatir akan membahayakan spesies
yang dibudidayakan. Selain itu, pada air dengan pH dan alkalinitas
tinggi konsentrasi kupri yang efektif dapat dicapai lebih mudah dengan
menggunakan produk kupri tersebut.
Kelemahan utama senyawa kupri terikat ini adalah harganya yang tinggi
hingga beberapa kali lipat harga kupri sulfat per unit berat kupri.
Sebetulnya
pada air dengan alkalinitas yang tinggi dan pH ≥ 7,5 perlakuan kupri sulfat
yang relatif banyak dapat dilakukan dengan dengan tanpa membahayakan species
yang dibudidayakan. Pada budidaya ikan,
dosis kupri sulfat yang biasa digunakan adalah
0,01 dari total alkalinitas. Sebagai
contoh, jika total alkalinitas 135 mg/l sebagai
kalsium karbonat, dosis kupri yang digunakan seharusnya adalah 1,35
mg/l.
Untuk
memberikan efek kontrol terhadap fitoplankton, penggunaan kupri sulfat pada air
dengan alkalinitas sedang sampai tinggi akan lebih ekonomis jika dibuat
perlakuan berulang dalam interval yang sering (jika dibutuhkan), daripada
penggunaan dengan produk kupri terikat.
Tetapi pada air yang bersifat asam dan alkalinitas rendah, konsentrasi
kupri sulfat yang dibutuhkan akan
mengontrol fitoplankton dapat melebihi toleransi species yang dibudidayakan
terhadap kupri.
Penggunaan pada Kolam Lele
Pada kolam lele, perlakuan kupri sulfat telah
digunakan secara luas untuk mengurangi populasi BGA sebelum panen dengan tujuan
untuk menghindari off flavor dan
potensi penolakan oleh pabrik pengolahan ikan.
Banyak tambak lele di Tenggara Amerika Serikat telah diberi perlakuan
kupri sulfat beberapa kali per tahun dalam jangka waktu sepuluh tahun atau
lebih.
Kupri
cepat hilang dari air tambak, dan konsentrasi kupri kembali ke level sebelum diberi perlakuan dalam waktu 72 jam
(gambar 2). Kupri terakumulasi di dalam
endapan tambak, tetapi karena tingkat kelarutan yang rendah pada pH ≥ 6,
kontaminasi air tambak oleh kupri yang dilepaskan dari endapan tidak
terjadi.
Kolam
lele dapat diberikan perlakuan kupri dengan baik pada daerah-daerah dimana
tanah dasar tambak netral atau agak
basa, dan respon yang berbeda mungkin dapat dihasilkan pada tambak-tambak yang
bersifat asam. Jika air tidak dibuang
dalam waktu tiga hari setelah perlakuan, dan perlakuan tersebut tidak diberikan
sebelum hujan deras yang dapat menyebabkan air meluap, penggunaan kupri sulfat
dalam tambak-tambak budidaya seharusnya tidak mengakibatkan kontaminasi
lingkungan.
Penggunaan
pada Tambak Udang
Algisida kupri belum digunakan secara luas pada budidaya udang, tetapi
seharusnya mempunyai efektifitas yang sama seperti pada tambak ikan air
tawar. Air payau umumnya memiliki nilai
alkalinitas di atas 100 mg/l, sebab
itu perlakuan kupri sulfat aman diberikan.
Penerapan
Kupri sulfat dapat diberikan dalam beberapa metoda. Yang umum dilakukan adalah dengan menaburkan
kristal kupri diatas permukaan tambak, dan menggantungkan kupri Sulfat pada
kantong berpori di depan aerator atau dimana arus masuk ke tambak.
Kupri sulfat juga dapat digunakan untuk perlakuan pada alga yang
membentuk anyaman di sekeliling pinggir tambak.
Metoda yang bisa digunakan adalah dengan menaburkan kristal kupri di
atas anyaman alga teersebut.
Algisida kupri terikat dapat dicampur dengan air dan disemprotkan diatas
permukaan tambak. Beberapa pekerja juga
mencampurkan algisida kupri terikat dengan air dan mengalirkan larutan tersebut
dari tangki yang diletakkan di atas perahu motor tepat kedalam adukan yang
disebabkan oleh baling-baling perahu motor ketika pekerja tersebut menjalankan
perahu motor keliling permukaan tambak.
Ketika memberi perlakuan pada tambak dengan senyawa kupri dan kupri
sulfat khususnya, adalah sangat penting mengetahui estimasi volume air tambak
yang dapat dipercaya. Kematian ikan secara
besar-besaran yang berhubungan dengan perlakuan kupri di tambak ikan lele
adalah diakibatkan dari kesalahan dalam perhitungan dosis. Juga sangat penting untuk membatasi jumlah
fitoplankton yang akan dikurangi pada saat itu untuk menghindari terjadinya
konsentrasi DO yang rendah. Hal ini
dapat dicapai dengan memberikan perlakuan hanya pada satu bagian tambak pada
sekali waktu. (Alih Bahasa : Novi F.Irawan)
Rabu, 02 Maret 2016
BIO-TREATMENT, SUATU SOLUSI MENJAGA KUALITAS AIR & KUALITAS DASAR TAMBAK
qImproved Water Quality
qImproved Sediment Quality
Budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei)
dalam beberapa tahun belakang ini menghadapi berbagai macam masalah, antara
lain : kualitas lingkungan perairan yang semakin memburuk dan infeksi penyakit
terutama yang disebabkan oleh virus (WSSV, TSV, IMNV , WFD) semakin meningkat. Sehingga perlu dicarikan solusi pemecahan
masalah agar budidaya udang L.
nannamei tetap produktif.
Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk
membantu menjaga kualitas air adalah
dengan menggunakan sistem “bio-treatment
“ ikan nila merah (Oreochromis niloticus). Ikan nila dapat berfungsi
sebagai agen bio-degradation dan bio
filter sehingga kualitas air menjadi lebih baik dan stabil. Kualitas air yang baik dan relatif stabil
akan mengurangi faktor stressor pada udang yang menjadi triger (pemicu) infeksi
virus.
Istilah “ Bio Treatment “ dalam budidaya udang adalah sistem budidaya
udang dengan
memberikan perlakuan ikan nila di tambak dengan tujuan untuk membantu menjaga keseimbangan ekosistem
tambak. Konsep dari biotreatment ini
adalah memanfaatkan hubungan “simbiosis mutualisme” antara udang dan ikan nila.
Ikan
nila digunakan
sebagai agen bio treatment karena memiliki kelebihan – kelebihan yang
bermanfaat untuk lingkunganya , ikan nila memanfaatkan sisa pakan yang tersedia
di dasar tambak sehingga mengurangi limbah organik (bio degradasi), ikan nila
memanfaat pakan alami yang tersedia di dasar tambak, behavior ikan nila mampu
membentuk keseimbangan mikroflora air (bio filter).
Jadi,
Biotreatment adalah tindakan secara biologis dalam budidaya udang dengan menambahkan ikan nila dalam jumlah tertentu dengan tujuan
untuk :
- Membantu memperbaiki kualitas air
- Membantu memperbaiki kualitas dasar tambak
- Menjaga keseimbangan ekosistem tambak
Dengan
kualitas air yang baik dan stabil akan mengurangi faktor pemicu (trigger)
munculnya penyakit.
Pemilihan Jenis Ikan
Peran Ikan dalam Perbaikan Ekosistem Tambak
Bio – Treatment
Membantu Menjaga Kualitas Air dan Dasar Tambak
Penerapan Bio-Treatment ikan pada Tambak Intensif
Aplikasi program bio-treatment ikan nila bisa dilakukan ditambak budidaya maupun di sistem Reservoir Pond kita, seperti ilustrasi berikut.
Metode Penebaran Ikan di Tambak Udang
Pada bulan Maret 2010
telah dilakukan suatu percobaan aplikasi program bio-treatment ke tambak
budidaya yang terinfeksi IMNV (PCR). Pengamatan lapangan dilakukan dengan
memonitor parameter kualitas air , pertumbuhan udang, kesehatan udang dan performance
panen. Hasilnya di bandingkan dengan tambak sebelahnya yang masih satu lot
sebagai kontrol.
Hasil
dari pengamatan tersebut tercantum seperti data di bawah ini :
Tabel
: Perbandingan antara tambak 0.25 Ha yang menggunakan program Bio-Treatment dengan
tambak yang tidak menggunakan (dalam satu lot) di WM.
Sumber
Data :
-
WM
- Performance Comparison Bio-Treatment
and vs Convensional,
Maret 2010, Noppachoke Thanachai
KESIMPULAN SEMENTARA :
- Tambak dengan bio-treatment menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik di banding tambak tanpa bio-treatment (ADG 0,188 vs 0,165).
- Performance FCR tidak menunjukkan perbedaan yang significant ( FCR 1,52 vs 1,50), artinya pengaruh ikan nila terhadap FCR sangat kecil.
- Kualitas air di tambak dengan bio-treatment terlihat lebih stabil dibanding tambak tanpa bio-treatment ( Fluktuasi pH, transparency dan TAN). TAN di tambak bio treatment relatif lebih kecil, TVC sama sama rendah, hal ini diduga karena efek dari aplikasi shock pH dengan CaOH.
- Diversitas (keanekaragaman) plankton di tambak bio-treatment terlihat lebih tinggi.
Catatan :
-
Opersional tambak menggunakan
SOP budidaya udang.
-
Tidak dibutuhkan Feeding program
khusus untuk ikan.
Salam Prima
Teguh Winarno
Praktisi Budidaya CP.Prima - Indonesia
Selasa, 01 Maret 2016
MENGENAL GEJALA AWAL INFEKSI WFD (Penyakit Kotoran Putih) PADA L. vannamei
Penyakit Kotoran Putih (WFD) telah banyak di bahas oleh berbagai ahli dan praktisi budidiya baik di Indonesia maupun dunia. Sebagian besar sudah menjelaskan penyebab dan akibat nya. Dari berbagai literatur dan sumber juga dijelaskan bahwa jika serangan WFD sudah parah ( acute), sulit bahkan belum bisa di atasi. Kondisi ini juga yang saat ini sedang kami alami.
Ada satu hal baik yang bisa kami sharing bahwa : Pada umumnya Pencegahan akan lebih baik dari pengobatan, tetapi jika dalam kondisi lingkungan / kondisi tertentu dan potensi infeksi penyakit ini besar maka MENGENAL GEJALA AWAL INFEKSI AKAN SANGAT MEMBANTU MEMULIHKAN KONDISI KESEHATAN UDANG.
Hasil dari pengamatan lapangan mengenai infeksi WFD kenapa sulit di sembuhkan karena terlambat identifikasi gejalanya. Kondisi yang sering kita temukan dilapangan biasanya kondis yang sudah parah :
- Munculnya kotoran putih panjang mengambang di permukaan air.
- Dijumpai nafsu makan udang turun drastis atau bahkan hilang selera makan (mogok makan).
- Dijumpai udang mulai keropos ( soft shell), red body, size variasi meningkat.
- Dijumpai mulai ada kematian.
Infeksi WFD ( Kondisi Parah)
Boonkob viriyapongsutee, 2016 Gambar Kondisi Kotoran dan Usus Udang yang terinfeksi Parah. |
Jika kita menjumpai kondisi seperti diatas,yang biasa kita lakukan adalah segera memperbaiki kondisi kualitas air dan kualitas dasar tambak secara fisik (sipon & ganti air), kimia (treatment sock pH dengan CaOH2) maupun biologis (probiotik ).
Semua tindakan yang kita lakukan target utamanya adalah mengurangi bahan organik di tambak agar bakteri vibrio tidak berkembang. Usaha perbaikan ini jarang memberikan hasil yang maksimal, kalaupun sembuh sifatnya sementara. Dan jika kambuh lagi biasanya kondisi infeksinya semakin parah.
Tindakan yang sama, tetapi dilakukan pada kasus infeksi tahap awal memberikan peluang kesembuhan yang lebih besar. Kuncinya adalah deteksi dini tanda-tanda munculnya penyakit WFD, kecepatan & ketepatan penanganan, konsistensi dalam menjaga kualitas air & lingkungan tambak, manajemen pakan yang tepat.
Berikut adalah tanda - tanda yang kami amati pada tambak yang terinfeksi gejala kotoran putih ( Kami sebut White Feces Syndrome / WFS).
GEJALA AWAL INFEKSI WFD :
1. Periode Persiapan Lahan dan Pembentukan Air
2. Kondisi Parameter Kualitas Air
Dari pengamatan kualitas air sebelum terjadi infeksi WFD, terlihat adanya kondisi yang berbeda antara tambak yang terinfeksi dan tidak :
- Fluktuasi parameter DO dan pH yang dipicu oleh kepadatan plankton ( Transparansi < 30 cm).
- Terjadi crash & perubahan komposisi plankton yang dipicu meningkatnya Pospate (PO4).
- Data TAN dari bulan pertama budidaya sudah tinggi.
- TVC dari bulan pertama lebih tinggi.
4. Gejala awal Infeksi Pada Nafsu Makan Udang dan Pertumbuhan
TINDAKAN PENCEGAHAN & MENGURANGI RESIKO TERINFEKSI
Penanganan cepat pada kasus gejala WFD telah banyak membantu memulihkan performance budidaya kami.
Penting : Pencegahan lebih baik daripada pengobatan, yang kami ketahui penyebab utama infeksi WFD adalah adanya multi infeksi dari micro organisme pathogen ( bakteri khususnya vibrio, protozoa & parasite).
Pengendalian limbah bahan organik baik dari pupuk organik, jasad plankton yang mati & utamanya sisa pakan ditambak menjadi prioritas penanganan.
Semoga bermanfaat.
Salam PRIMa
Teguh Winarno
Praktisi Budidaya CP.Prima - Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)