Udang Putih
(Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas perikanan laut Indonesia yang
memiliki nilai ekonomi tinggi baik di pasar domestik maupun global. Proses
budidaya komoditas ini sudah berkembang secara pesat terutama penggunaan
teknologi berdasarkan pada proses autotrof yang menggunakan proses fotosintesis
fitoplankton sebagai faktor penentu produktivitas perairan tambak. Penggunaan
sistem ini masih memiliki beberapa permasalahan seperti kualitas air dan
konversi pakan yang tidak stabil. Untuk itu, perlu dikembangkan suatu sistem
budidaya efektif untuk memecahkan permasalahan tersebut melalui sistem budidaya
berbasis teknologi bioflok yang menggunakan komunitas mikroorganisme (mikroalga
dan bakteri).
Sebagaimana yang diketahui,
pakan yang digunakan dalam budidaya udang memiliki kandungan protein tinggi.
Pakan yang diberikan tidak seluruhnya mampu diasimilasi oleh tubuh ikan. Hanya
sebagian saja yang mampu diasimilasi kedalam tubuh sedangkan sisanya terbuang
ke perairan dalam bentuk sisa pakan dan buangan metabolit. Sisa pakan dan
buangan metabolit ini menjadi suatu masalah pada tambak udang karena unsur
protein yang terlarut akan segera membentuk amoniak yang sangat berbahaya bagi
organisme akuatik khususnya udang.
Amonia (NH3) merupakan
produk akhir utama dalam pemecahan protein pada budidaya udang maupun hewan
akuatik lainnya. udang mencerna protein pakan dan mengekskresikan amonia
melalui insang dan feses. Jumlah amonia diekskresikan oleh ikan bervariasi
tergantung jumlah pakan dimasukkan ke dalam kolam atau sistem budaya. Amonia
terdapat pada kolam dari bakteri dekomposisi bahan organik seperti dekomposisi
pakan (Durborow et al. 1997a).
Total amonia nitrogen (TAN)
merupakan kombinasi antara amonia yang tidak terionisasi (NH3) dan amonium
(NH4) (Gambar 1). Penanganan konsentrasi TAN yang tinggi cukup sulit dilakukan
namun, pemberian aerasi dapat mengurangi efek beracun dari NH3. Selain itu,
tingkat TAN dapat dapat dikurangi melalui peningkatan aerobik Melalui
penggunaan aerasi, gas amonia dapat berdifusi dari air kolam ke udara. Namun,
penelitian telah menunjukkan bahwa aerasi tidak efektif mengurangi konsentrasi
amonia karena volume air dipengaruhi oleh ukuran aerator. Masalah amoniak (NH3)
pada kolam juga dapat diatasi dengan memberikan bakteri yang biasa hidup
diperairan dan memiliki kemampuan untuk mereduksi amonia menjadi bentuk lainnya
yang tidak bersifat toksik bagi ikan (Hargreaves and Tucker 2004).
Jumlah amonia diekskresikan
oleh ikan bervariasi tergantung jumlah pakan dimasukkan ke dalam kolam atau
sistem budaya (Durborow et al. 1997a). Amonia merupakan senyawa yang sangat
berbahaya karena dapat mengganggu fungsi fisiologis dalam tubuh bagi organisme
akuatik. Selain menggangu fungsi dalam tubuh, konsentrasi amonia yang tinggi
disuatu perairan dapat menyebabkan penurunan beberapa parameter kualitas air lainnya.
Meningkatnya konsentrasi amonia akan diikuti dengan peningkatan pH air yang
berimplikasi pada penurunan kemampuan oksigen terlarut dalam air
(Dissolve oxygen). Peningkatan pH yang diikuti dengan penurunan konsentrasi
oksigen terlarut dapat menimbulkan gangguan fungsi fisiologi serta metabolisme
seperti respirasi dan penurunan sistem kekebalan tubuh. Ketika terjadi gangguan
seperti ini, maka udang sangat rentan terhadap serangan mikroorganisme patogen
dan berpotensi mengalami kegagalan panen bahkan kerugian yang cukup besar. Oleh
karena itu, diperlukan suatu manajemen kualitas air yang baik sebagai suatu
alternatif pencegahan.
Menurut Guttierrez-Wing dan
Malone (2006), metode yang biasa digunakan dalam mengatasi masalah buangan
akuakultur adalah dengan sistem ganti air secara terus menerus. Kelemahan yang
dimiliki oleh metode ini adalah diperlukannya air baru dalam jumlah banyak dan
energi yang cukup besar terutama untuk kegiatan produksi skala menengah
sehingga metode ini dinilai kurang efisien. Metode kedua yang bisa digunakan
adalah sistem resirkulasi (RAS – recirculating aquaculture system) dengan
menggunakan berbagai tipe biofilter berbeda dalam treatment pengolahan limbah.
Kelemahan metode ini adalah diperlukannya dana investasi dan biaya operasional
yang besar termasuk biaya energi dan tenaga kerja. Salah satu alternatif yang
ditawarkan untuk pencegahan penyakit dan perbaikan kualitas lingkungan perairan
tambak adalah dengan penggunaan probiotik atau menerapkan konsep rasio C/N.
Penggunaan probiotik yang berasal dari bakteri baik dapat membantu mengatasi
permasalahan kualitas air khususnya pada tambak udang. Bakteri probiotik yang
biasa digunakan ditambak udang merupakan jenis probiotik yang telah dibuktikan
mampu menangani permasalahan akumulasi amoniak akibat sedimentasi tambak.
Salah satu jenis probiotk
yang digunakan dalam budidaya udang vanamei di Indonesia adalah jenis Bacillus
subtilis. Bakteri ini asalah salah satu bakteri probiotik yang mampu membentuk
bioflok. Bacillus subtilis seperti anggota genus Bacillus lainnya, adalah
bakteri yang sangat umum ditemukan dalam tanah, air, udara, dan materi tanaman
membusuk (Anonim 2010). Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflok adalah
kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat (PHA), terutama
yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan
sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi
substansi pembentuk bioflok. Prinsip kerja yang sama yang melibatkan PHA
sebagai polimer pembentuk ikatan kompleks mikroorganisme dengan bahan organik
dan anorganik adalah seperti pembentukan natta de coco, natta de soya dan
klekap di tambak (Anonim 2009).
Penambahan unsur karbon
organik melalui penambahan karbon organik pada kolam mampu megatasi
permasalahan amoniak karena sejumlah bakteri dalam air mampu memanfaatkan unsur
nitrogen yang berasal dari sisa pakan namun kinerja bakteri ini menjadi
terhambat akibat terbatasnya sumber karbon dalam air (Hargreaves and Tucker
2004). Selain menghasilkan protein yang cukup tinggi, penggunaan sistem ini
juga membantu para petambak dalam hal minimisasi ganti air. Proses minimisasi
ganti air terjadi akibat adanya bakteri yang mampu memanfaatkan berbagai
senyawa hasil buangan yang bersifat toksik atau sisa pakan menjadi biomasa
bakteri sehingga mampu memperbaiki kualitas air. Menurut Avnimelech (1999)
dalam Najamuddin (2008), kontrol nitrogen anorganik dalam sistem perairan
akuakultur dapat diatur melalui rasio C/N. Hal ini merupakan suatu teknik yang
lebih praktis dan murah untuk mengurangi penumpukann nitrogen anorganik di
dalam kolam. Kegiatan kontrol nitrogen dapat dilakukan melalui pemberian karbon
sebagai sumber energi atau pakan bagi bakteri. Nitrogen akan berkurang karena
terjadi penyusunan protein atau SCP (single cell protein) oleh mikroba.
Mekanismenya ialah dengan penambahan karbon, amonium akan tereduksi karena
dimanfaatkan bakteri untuk memproduksi protein mikroba (Najamuddin 2008).
Permasalahan lain yang
muncul pada petambak udang adalah besarnya biaya produksi akibat besarnya biaya
pakan. Konsep bioflocs merupakan konsep yang menawarkan hasil akhir berupa
pengurangan biaya pakan melalui terbentuknya single cell protein yang mampu
meminimalisasi ketergantungan pakan. Menurut Schryver et al (2008), teknologi
bioflok adalah suatu sistem budidaya bakteri heterotrof dan alga dalam suatu
gumpalan flocs secara terkontrol dalam suatu wadah budidaya atau merupakan
suatu sistem yang memanipulasi kepadatan dan aktivitas mikroba sebagai suatu
cara megontol kualitas air dengan mentransformasikan amoniun menjadi protein
mikrobial agar mampu mengurangi residu dari sisa pakan (Avnimelech et al.,
1989, 1992; Crab et al., 2007; dalam Avnimelech and Kochba
2009). Bio-flocs dibentuk dengan asupan karbon organik atau anorganik yang
secara sengaja ditambahkan ke kolam atau tambak seperti molase. Hal ini
merupakan suatu teknik yang lebih praktis dan murah untuk mengurangi
penumpukann nitrogen anorganik di dalam kolam. Kegiatan kontrol nitrogen dapat
dilakukan melalui pemberian karbon sebagai sumber energi atau pakan bagi
bakteri. Nitrogen akan berkurang karena terjadi penyusunan protein atau SCP
(single cell protein) oleh mikroba. Mekanismenya ialah dengan penambahan
karbon, amonium akan tereduksi karena dimanfaatkan bakteri untuk memproduksi
protein mikroba (Najamuddin 2008).
Beristain (2005) dalam
Najamuddin (2008), menyatakan bahwa karbon dan nitrogen merupakan satu kesatuan
pembentuk jaringan biomassa bakteri. Melalui penambahan unsur karbon diharapkan
kebutuhan bakteri dalam air akan karbohidrat tercukupi. Ketika unsur pembentuk
biomasa bakteri tercukupi, maka dapat diharapkan terjadi proses pertumbuhan
bakteri pembentuk flocs secara signifikan jika dibandingkan dengan keadaan
tanpa bioflocs. Flocs yang terbentuk di tambak dapat mengatasi permasalahan
protein Menurut Azmin et al. (2007), struktur bioflocs mampu menyumbangkan
nilai protein sebesar 50-53%. Hal ini merupakan suatu angka yang cukup baik
karena melalui sumbangan protein tersebut dapat membantu dalam pemenuhan
kebutuhan protein pada udang vaname. Selain protein zat lain yang juga mampu
disumbangkan oleh bioflocs adalah energi sebesar 21%. Sehingga penerapan
teknologi bioflocs juga membantu meminimalisasi penggunaan pakan tambahan pada
tambak udang.
Selain keuntungan diatas
penggunaan bioflocs juga membantu dalam manajemen oksigen dalam air, sebagai
biosecurity dengan menekan bakteri patogen serta manajemen kualitas tanah.
Bioflocs terbentuk, jika secara visual di dapat warna air kolam coklat muda
(krem) berupa gumpalan yang bergerak bersama arus air. pH air cenderung di
kisaran 7 (antara 7,2 – 7,8) dengan kenaikan pH pagi dengan pH sore yang kecil
(rentang pH antara 0,02–0,2 ) (Anonim 2009).
Tidak semua bakteri dapat membentuk bioflocs
dalam air, seperti dari genera Bacillus hanya dua spesies yang mampu membentuk
bioflocs yaitu Bacillus subtilis dan Bacillus cereus. Salah satu ciri khas
bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa
Polihidroksi alkanoat (PHA), terutama yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat.
Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer
antara substansi substansi pembentuk bioflocs. Prinsip kerja yang sama yang
melibatkan PHA sebagai polimer pembentuk ikatan kompleks mikroorganisme dengan
bahan organik dan anorganik adalah seperti pembentukan natta de coco, natta de
soya dan klekap di tambak (Anonim 2009). Bioflocs terdiri atas partikel serat
organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam
kalsium karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead
body cell), ragi, jamur dan zooplankton (Jorand et al., 1995 dalam Schryver et
al., 2008)
Pemberian bakteri Bacillus
subtilis pada tambak udang yang dikombinasikan dengan penerapan bioflocs
melalui penambahan C organik diharapkan mampu menghasilkan flocs yang
didominasi oleh bakteri ini. Bakteri ini memiliki kemampuan memanfaatkan
karbohidrat karena memiliki enzim seperti α-galaktosidase. Melalui enzim ini
diharapkan sumber karbon yang ditambahkan ke dalam tambak udang dapat
dimanfaatkan oleh Bacillus subtilis untuk dkonversi menjadi biomasa sel.
Menurut Avnimelech (1999), kontrol nitrogen anorganik dapat diatasi
denganmenggunakan prinsip pengubahan karbon dan nitrogen melalui proses
mikrobial. Prosesnya adalah sebagai berikut:
C organik CO2 + energy + C yang diasimilasi
oleh sel mikroba
Bacillus
subtilis memiliki banyak manfaat terutama dalam aplikasi industri. bakteri ini
digunakan untuk menghasilkan berbagai enzim, seperti amilase dan enzim
protease, termasuk subtilisin. Berbagai enzim yang dihasilkan oleh bakteri ini
seperti amilase digunakan untuk memecah sumber karbon yang dihasilkan dan
protease untuk memecah protein. Menurut Ochoa dan Olmos (2010), bakteri dari
golongan Bacillus memiliki enzim protease yang tinggi dan mampu memanfaatkan
protein yang terdapat pada pakan tambahan pada tambak pemeliharaan udang.
Bakteri ini bekerja sebagai agen bioremediasi detritus organik pada tambak dan
menghasilkan molekul yang lebih sederhana bagi organisme lain seperti bakteri
nitrifikasi untuk berkembang. Prinsip kerja yang digunakan oleh bakteri ini
adalah proses oksidasi. Proses oksidasi dilakukan untuk memecah senyawa
kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana guna menghasilkan energi bagi
pertumbuhan atau peningkatan biomasa.
Berkembangnya bakteri
Bacillus subtilis yang diharapkan disertai dengan berkembangnya bakteri
nitrifikasi diharapkan mampu mengatasi permasalahan amonia (NH3) dalam tambak.
Menurut Antony dan Philips (2006), bakteri nitrifikasi berperan pengubahan
amonia menjadi nitrit dan nitrat dalam siklus nitrogen sehingga mampu mengatasi
akumulasi bahan organik dan amonia dalam air. Melalui teknik ini diharapkan
akan diperoleh kualitas air yang baik serta mengurangi penggunaan pakan buatan
dan pergantian air pada tambak.
Minimisasi penggunaan pakan buatan secara tidak langsung berperan dalam
mengurangi ketergantungan penggunaan tepung ikan. Seperti yang kita ketahui,
bahan baku tepung ikan berasal dari kegiatan penangkapan yang saat ini telah
mendekati overfishing. Manfaat lain yang diperoleh adalah mengurangi polusi
lingkungan dan menghemat penggunaan air bersih. Melalui pendekatan ini,
pergantian air ditekan hingga mencapai angka nol sehingga dalam satu kali
siklus produksi hanya membutuhkan satu kali penggunaan air saja pada awal
penebaran benur. Penerapan teknologi bioflocs berbasis probiotik ini diharapkan
mampu mendorong program pemerintah dalam upaya peningkatan produksi perikanan
khususnya produksi udang dengan dukungan lingkungan budidaya yang sehat (health
pond).
Disalin dari : Eko Winasis
postingan yang bermanfaat pak, gmn langkah2 pembuatan bioflok di tambak kecil tradisional
BalasHapusSistem bioflok dibutuhkan pasokan oksigen yg tinggi dan kontinyu, lebih cocok untuk tambak intensif dengan kincir yang cukup.
HapusSistem bioflok dibutuhkan pasokan oksigen yg tinggi dan kontinyu, lebih cocok untuk tambak intensif dengan kincir yang cukup.
Hapuskalau untuk tambak tradisonal system apa yang cocok untuk diterapkan
BalasHapusSistem autothroph/planktonik
BalasHapusSistem autothroph/planktonik
BalasHapusSistem autothroph/planktonik
BalasHapus