Rabu, 24 Agustus 2016

Peralihan Sistem Plankton ke Bioflok dalam Budidaya Udang Vannamei


Udang Putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas perikanan laut Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi baik di pasar domestik maupun global. Proses budidaya komoditas ini sudah berkembang secara pesat terutama penggunaan teknologi berdasarkan pada proses autotrof yang menggunakan proses fotosintesis fitoplankton sebagai faktor penentu produktivitas perairan tambak. Penggunaan sistem ini masih memiliki beberapa permasalahan seperti kualitas air dan konversi pakan yang tidak stabil. Untuk itu, perlu dikembangkan suatu sistem budidaya efektif untuk memecahkan permasalahan tersebut melalui sistem budidaya berbasis teknologi bioflok yang menggunakan komunitas mikroorganisme (mikroalga dan bakteri).

    Sebagaimana yang diketahui, pakan yang digunakan dalam budidaya udang memiliki kandungan protein tinggi. Pakan yang diberikan tidak seluruhnya mampu diasimilasi oleh tubuh ikan. Hanya sebagian saja yang mampu diasimilasi kedalam tubuh sedangkan sisanya terbuang ke perairan dalam bentuk sisa pakan dan buangan metabolit. Sisa pakan dan buangan metabolit ini menjadi suatu masalah pada tambak udang karena unsur protein yang terlarut akan segera membentuk amoniak yang sangat berbahaya bagi organisme akuatik khususnya udang.

    Amonia (NH3) merupakan produk akhir utama dalam pemecahan protein pada budidaya udang maupun hewan akuatik lainnya. udang mencerna protein pakan dan mengekskresikan amonia melalui insang dan feses. Jumlah amonia diekskresikan oleh ikan bervariasi tergantung jumlah pakan dimasukkan ke dalam kolam atau sistem budaya. Amonia terdapat pada kolam dari bakteri dekomposisi bahan organik seperti dekomposisi pakan (Durborow et al. 1997a).

    Total amonia nitrogen (TAN) merupakan kombinasi antara amonia yang tidak terionisasi (NH3) dan amonium (NH4) (Gambar 1). Penanganan konsentrasi TAN yang tinggi cukup sulit dilakukan namun, pemberian aerasi dapat mengurangi efek beracun dari NH3. Selain itu, tingkat TAN dapat dapat dikurangi melalui peningkatan aerobik Melalui penggunaan aerasi, gas amonia dapat berdifusi dari air kolam ke udara. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa aerasi tidak efektif mengurangi konsentrasi amonia karena volume air dipengaruhi oleh ukuran aerator. Masalah amoniak (NH3) pada kolam juga dapat diatasi dengan memberikan bakteri yang biasa hidup diperairan dan memiliki kemampuan untuk mereduksi amonia menjadi bentuk lainnya yang tidak bersifat toksik bagi ikan (Hargreaves and Tucker 2004). 

    Jumlah amonia diekskresikan oleh ikan bervariasi tergantung jumlah pakan dimasukkan ke dalam kolam atau sistem budaya (Durborow et al. 1997a). Amonia merupakan senyawa yang sangat berbahaya karena dapat mengganggu fungsi fisiologis dalam tubuh bagi organisme akuatik. Selain menggangu fungsi dalam tubuh, konsentrasi amonia yang tinggi disuatu perairan dapat menyebabkan penurunan beberapa parameter kualitas air lainnya. Meningkatnya konsentrasi amonia akan diikuti dengan peningkatan pH air yang berimplikasi pada  penurunan kemampuan oksigen terlarut dalam air (Dissolve oxygen). Peningkatan pH yang diikuti dengan penurunan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan gangguan fungsi fisiologi serta metabolisme seperti respirasi dan penurunan sistem kekebalan tubuh. Ketika terjadi gangguan seperti ini, maka udang sangat rentan terhadap serangan mikroorganisme patogen dan berpotensi mengalami kegagalan panen bahkan kerugian yang cukup besar. Oleh karena itu, diperlukan suatu manajemen kualitas air yang baik sebagai suatu alternatif pencegahan.

    Menurut Guttierrez-Wing dan Malone (2006), metode yang biasa digunakan dalam mengatasi masalah buangan akuakultur adalah dengan sistem ganti air secara terus menerus. Kelemahan yang dimiliki oleh metode ini adalah diperlukannya air baru dalam jumlah banyak dan energi yang cukup besar terutama untuk kegiatan produksi skala menengah sehingga metode ini dinilai kurang efisien. Metode kedua yang bisa digunakan adalah sistem resirkulasi (RAS – recirculating aquaculture system) dengan menggunakan berbagai tipe biofilter berbeda dalam treatment pengolahan limbah. Kelemahan metode ini adalah diperlukannya dana investasi dan biaya operasional yang besar termasuk biaya energi dan tenaga kerja. Salah satu alternatif yang ditawarkan untuk pencegahan penyakit dan perbaikan kualitas lingkungan perairan tambak adalah dengan penggunaan probiotik atau menerapkan konsep rasio C/N. Penggunaan probiotik yang berasal dari bakteri baik dapat membantu mengatasi permasalahan kualitas air khususnya pada tambak udang. Bakteri probiotik yang biasa digunakan ditambak udang merupakan jenis probiotik yang telah dibuktikan mampu menangani permasalahan akumulasi amoniak akibat sedimentasi tambak.

    Salah satu jenis probiotk yang digunakan dalam budidaya udang vanamei di Indonesia adalah jenis Bacillus subtilis. Bakteri ini asalah salah satu bakteri probiotik yang mampu membentuk bioflok. Bacillus subtilis seperti anggota genus Bacillus lainnya, adalah bakteri yang sangat umum ditemukan dalam tanah, air, udara, dan materi tanaman membusuk (Anonim 2010). Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflok adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat (PHA), terutama yang spesifik seperti poli βhidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk bioflok. Prinsip kerja yang sama yang melibatkan PHA sebagai polimer pembentuk ikatan kompleks mikroorganisme dengan bahan organik dan anorganik adalah seperti pembentukan natta de coco, natta de soya dan klekap di tambak (Anonim 2009). 
   
    Penambahan unsur karbon organik melalui penambahan karbon organik pada kolam mampu megatasi permasalahan amoniak karena sejumlah bakteri dalam air mampu memanfaatkan unsur nitrogen yang berasal dari sisa pakan namun kinerja bakteri ini menjadi terhambat akibat terbatasnya sumber karbon dalam air (Hargreaves and Tucker 2004). Selain menghasilkan protein yang cukup tinggi, penggunaan sistem ini juga membantu para petambak dalam hal minimisasi ganti air. Proses minimisasi ganti air terjadi akibat adanya bakteri yang mampu memanfaatkan berbagai senyawa hasil buangan yang bersifat toksik atau sisa pakan menjadi biomasa bakteri sehingga mampu memperbaiki kualitas air. Menurut Avnimelech (1999) dalam Najamuddin (2008), kontrol nitrogen anorganik dalam sistem perairan akuakultur dapat diatur melalui rasio C/N. Hal ini merupakan suatu teknik yang lebih praktis dan murah untuk mengurangi penumpukann nitrogen anorganik di dalam kolam. Kegiatan kontrol nitrogen dapat dilakukan melalui pemberian karbon sebagai sumber energi atau pakan bagi bakteri. Nitrogen akan berkurang karena terjadi penyusunan protein atau SCP (single cell protein) oleh mikroba. Mekanismenya ialah dengan penambahan karbon, amonium akan tereduksi karena dimanfaatkan bakteri untuk memproduksi protein mikroba (Najamuddin 2008). 

    Permasalahan lain yang muncul pada petambak udang adalah besarnya biaya produksi akibat besarnya biaya pakan. Konsep bioflocs merupakan konsep yang menawarkan hasil akhir berupa pengurangan biaya pakan melalui terbentuknya single cell protein yang mampu meminimalisasi ketergantungan pakan. Menurut Schryver et al (2008), teknologi bioflok adalah suatu sistem budidaya bakteri heterotrof dan alga dalam suatu gumpalan flocs secara terkontrol dalam suatu wadah budidaya atau merupakan suatu sistem yang memanipulasi kepadatan dan aktivitas mikroba sebagai suatu cara megontol kualitas air dengan mentransformasikan amoniun menjadi protein mikrobial agar mampu mengurangi residu dari sisa pakan (Avnimelech et al., 1989, 1992; Crab et al., 2007; dalam Avnimelech and Kochba 2009). Bio-flocs dibentuk dengan asupan karbon organik atau anorganik yang secara sengaja ditambahkan ke kolam atau tambak seperti molase. Hal ini merupakan suatu teknik yang lebih praktis dan murah untuk mengurangi penumpukann nitrogen anorganik di dalam kolam. Kegiatan kontrol nitrogen dapat dilakukan melalui pemberian karbon sebagai sumber energi atau pakan bagi bakteri. Nitrogen akan berkurang karena terjadi penyusunan protein atau SCP (single cell protein) oleh mikroba. Mekanismenya ialah dengan penambahan karbon, amonium akan tereduksi karena dimanfaatkan bakteri untuk memproduksi protein mikroba (Najamuddin 2008).

    Beristain (2005) dalam Najamuddin (2008), menyatakan bahwa karbon dan nitrogen merupakan satu kesatuan pembentuk jaringan biomassa bakteri. Melalui penambahan unsur karbon diharapkan kebutuhan bakteri dalam air akan karbohidrat tercukupi. Ketika unsur pembentuk biomasa bakteri tercukupi, maka dapat diharapkan terjadi proses pertumbuhan bakteri pembentuk flocs secara signifikan jika dibandingkan dengan keadaan tanpa bioflocs. Flocs yang terbentuk di tambak dapat mengatasi permasalahan protein Menurut Azmin et al. (2007), struktur bioflocs mampu menyumbangkan nilai protein sebesar 50-53%. Hal ini merupakan suatu angka yang cukup baik karena melalui sumbangan protein tersebut dapat membantu dalam pemenuhan kebutuhan protein pada udang vaname. Selain protein zat lain yang juga mampu disumbangkan oleh bioflocs adalah energi sebesar 21%. Sehingga penerapan teknologi bioflocs juga membantu meminimalisasi penggunaan pakan tambahan pada tambak udang.

    Selain keuntungan diatas penggunaan bioflocs juga membantu dalam manajemen oksigen dalam air, sebagai biosecurity dengan menekan bakteri patogen serta manajemen kualitas tanah. Bioflocs terbentuk, jika secara visual di dapat warna air kolam coklat muda (krem) berupa gumpalan yang bergerak bersama arus air. pH air cenderung di kisaran 7 (antara 7,2 – 7,8) dengan kenaikan pH pagi dengan pH sore yang kecil (rentang pH antara 0,02–0,2 ) (Anonim 2009). 

Tidak semua bakteri dapat membentuk bioflocs dalam air, seperti dari genera Bacillus hanya dua spesies yang mampu membentuk bioflocs yaitu Bacillus subtilis dan Bacillus cereus. Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Polihidroksi alkanoat (PHA), terutama yang spesifik seperti poli βhidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk bioflocs. Prinsip kerja yang sama yang melibatkan PHA sebagai polimer pembentuk ikatan kompleks mikroorganisme dengan bahan organik dan anorganik adalah seperti pembentukan natta de coco, natta de soya dan klekap di tambak (Anonim 2009). Bioflocs terdiri atas partikel serat organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead body cell), ragi, jamur dan zooplankton (Jorand et al., 1995 dalam Schryver et al., 2008)

    Pemberian bakteri Bacillus subtilis pada tambak udang yang dikombinasikan dengan penerapan bioflocs melalui penambahan C organik diharapkan mampu menghasilkan flocs yang didominasi oleh bakteri ini. Bakteri ini memiliki kemampuan memanfaatkan karbohidrat karena memiliki enzim seperti α-galaktosidase. Melalui enzim ini diharapkan sumber karbon yang ditambahkan ke dalam tambak udang dapat dimanfaatkan oleh Bacillus subtilis untuk dkonversi menjadi biomasa sel. Menurut Avnimelech (1999), kontrol nitrogen anorganik dapat diatasi denganmenggunakan prinsip pengubahan karbon dan nitrogen melalui proses mikrobial. Prosesnya adalah sebagai berikut: 
C organik CO2 + energy + C yang diasimilasi oleh sel mikroba 
Bacillus subtilis memiliki banyak manfaat terutama dalam aplikasi industri. bakteri ini digunakan untuk menghasilkan berbagai enzim, seperti amilase dan enzim protease, termasuk subtilisin. Berbagai enzim yang dihasilkan oleh bakteri ini seperti amilase digunakan untuk memecah sumber karbon yang dihasilkan dan protease untuk memecah protein. Menurut Ochoa dan Olmos (2010), bakteri dari golongan Bacillus memiliki enzim protease yang tinggi dan mampu memanfaatkan protein yang terdapat pada pakan tambahan pada tambak pemeliharaan udang. Bakteri ini bekerja sebagai agen bioremediasi detritus organik pada tambak dan menghasilkan molekul yang lebih sederhana bagi organisme lain seperti bakteri nitrifikasi untuk berkembang. Prinsip kerja yang digunakan oleh bakteri ini adalah proses oksidasi. Proses oksidasi dilakukan untuk memecah senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana guna menghasilkan energi bagi pertumbuhan atau peningkatan biomasa.
    Berkembangnya bakteri Bacillus subtilis yang diharapkan disertai dengan berkembangnya bakteri nitrifikasi diharapkan mampu mengatasi permasalahan amonia (NH3) dalam tambak. Menurut Antony dan Philips (2006), bakteri nitrifikasi berperan pengubahan amonia menjadi nitrit dan nitrat dalam siklus nitrogen sehingga mampu mengatasi akumulasi bahan organik dan amonia dalam air. Melalui teknik ini diharapkan akan diperoleh kualitas air yang baik serta mengurangi penggunaan pakan buatan dan pergantian air pada tambak.



    Minimisasi penggunaan pakan buatan secara tidak langsung berperan dalam mengurangi ketergantungan penggunaan tepung ikan. Seperti yang kita ketahui, bahan baku tepung ikan berasal dari kegiatan penangkapan yang saat ini telah mendekati overfishing. Manfaat lain yang diperoleh adalah mengurangi polusi lingkungan dan menghemat penggunaan air bersih. Melalui pendekatan ini, pergantian air ditekan hingga mencapai angka nol sehingga dalam satu kali siklus produksi hanya membutuhkan satu kali penggunaan air saja pada awal penebaran benur. Penerapan teknologi bioflocs berbasis probiotik ini diharapkan mampu mendorong program pemerintah dalam upaya peningkatan produksi perikanan khususnya produksi udang dengan dukungan lingkungan budidaya yang sehat (health pond). 

Disalin dari : Eko Winasis

Kamis, 03 Maret 2016

PERLAKUAN KUPRI UNTUK MENGENDALIKAN FITOPLANKTON

Dr Claud E. Boyd
Fakultas Perikanan dan Budidaya Air Terpadu
Univesitas Auburn
Alabama USA


Kupri  sulfat (CuSO4) dikenal sebagai algisida butiran, disebut juga butiran tajam berwarna biru atau batu biru.
Algisida:  bahan kimia yang digunakan untuk menghambat atau menghentikan pertumbuhan alga.

Ringkasan
Kupri Sulfat digunakan secara luas sebagai algisida di tambak dan sistem perairan lainnya.  Meskipun kupri sulfat cepat hilang dalam air tambak, ion-ion kupri dapat berbahaya bagi hewan air.  Ketika terikat dengan berbagai senyawa organik, sifat racun ion-ion kupri terhadap hewan air menjadi berkurang dan pemecahan konsentrasi kupri dapat dijaga dengan aman untuk beberapa hari.
Kupri adalah komponen mineral minor di dalam air di alam.  Pada air laut, konsentrasi kupri yang biasa ditemui antara 0,002 – 0,004 mg/l, sedang pada air tawar konsentrasi kupri biasa ditemui anatara 0,005 – 0,020 mg/l.  Pada konsentrasi rendah kupri adalah mikronutrien yang dibutuhkan oleh semua tanaman, tetapi diatas 0,05 mg/l dapat menjadi racun bagi alga.  Pada konsentrasi rendah, kupri juga menjadi nutrien essensial bagi hewan, tetapi pada konsentrasi tinggi akan menjadi racun.  
Fitoplankton, khususnya Blue Green Algae (BGA) sangat sensitif terhadap kupri, sebab itu logam ini digunakan secara luas sebagai algisida pada kolam persediaan air, kolam renang, menara-menara pendingin, tambak-tambak ikan peliharaan, tambak-tambak budidaya, dan sisitem perairan lainnya.  Bentuk kupri yang digunakan sebagai algisida secara tradisional adalah kupri sulfat.  Bahan kimia ini berwarna biru, berbentuk butiran-butiran kecil biasa disebut butiran tajam berwarna biru atau batu biru.  Kupri sulfat mengandung kupri murni 26% dari berat.
  



Ketika digunakan pada air, kupri sulfat cepat terlarut menghasilkan ion-ion kupri dan sulfat.  Pada tambak-tambak budidaya, ion-ion kupri menjalani beberapa proses alamiah seperti terlihat pada gambar 1 diatas.

Jumlah ion-ion kupri bervariasi tergantung pada pH larutan.  Jika dianggap mineral yang mengontrol tingkat kelarutan kupri adalah tenorit (CuO), pada pH 7 konsentrasi keseimbangan ion kupri  adalah 0,02800 mg/l dan pada pH 8 adalah 0,00028 mg/l (Tabel 1).

pH
Konsentrasi ion Kupri (mg/l)
5
6
7
8
9
28
2,8
0,028
0,00028
0,0000028


Penggunaan Algisida
            Kupri dapat hilang dari dalam air melalui tiga proses, yaitu terserap oleh tanaman air yang pada saat mati akan mengendap di dasar tambak sebagai endapan bahan organik, membentuk kupri oksida sebagai hasil endapan ion-ion kupri secara cepat, dan terikat pada koloid lempung  dan bahan organik di dasar tanah lewat proses pertukaran kation.
            Ion kupri adalah bahan beracun bagi tanaman, tetapi sedikit beracun bagi hewan air.  Konsentrasi yang digunakan betul-betul dipertimbangkan sebagai kontrol fitoplankton yang dapat diterima, yaitu antara 0,05 – 0,06 mg kupri/ l air.  Konsentrasi kupri maksimal yang dianjurkan untuk ikan biasanya adalah 0,02 mg/l pada air yang bersifat asam dan alkalinitas rendah,  dan 0,2 mg/l pada air dengan pH dan alkalinitas tinggi.
            Kelarutan ion-ion kupri terbesar adalah pada pH rendah, dan menurun dengan cepat dengan meningkatnya pH (Tabel 1).  Hal ini menghasilkan dua masalah dalam penggunaan kupri sulfat sebagai algisida.  Pada pH rendah, konsentrasi ion-ion kupri yang relatif tinggi mendorong daya racun terhadap fitoplankton, tetapi akan beresiko terhadap spesies yang dibudidayakan.  Pada pH lebih tinggi, ion-ion kupri tidak begitu berbahaya bagi spesies yang dibudidayakan, tetapi akan lebih sulit untuk mencapai konsentrasi ion-ion kupri yang cukup untuk mengontrol fitoplankton.
             
Produk Kupri Bentuk Terikat
            Ion-ion kupri dapat terikat dengan senyawa-senyawa organik seperti trietanol amin, asam diamin tetrasetat, lignin sulfonat, atau dengan asam sitrat.  Keuntungan perlakuan air dengan produk kupri terikat ialah konsentrasi kupri yang terlarut dapat dijaga pada level tinggi untuk beberapa hari, bahkan pada air dengan pH dan alkalinitas yang tinggi.
            Kupri terikat juga beracun terhadap fitoplankton, tetapi tidak seperti pada racun ion kupri terhadap hewan air.  Jadi untuk mengontrol fitoplankton, produk kupri terikat dapat digunakan diperairan yang bersifat asam dan alkalinitas rendah tanpa khawatir akan membahayakan spesies yang dibudidayakan.  Selain  itu, pada air dengan pH dan alkalinitas tinggi konsentrasi kupri yang efektif dapat dicapai lebih mudah dengan menggunakan produk kupri tersebut.  Kelemahan utama senyawa kupri terikat ini adalah harganya yang tinggi hingga beberapa kali lipat harga kupri sulfat per unit berat kupri.
            Sebetulnya pada air dengan alkalinitas yang tinggi dan pH ≥ 7,5 perlakuan kupri sulfat yang relatif banyak dapat dilakukan dengan dengan tanpa membahayakan species yang dibudidayakan.  Pada budidaya ikan, dosis kupri sulfat yang biasa digunakan adalah  0,01 dari total alkalinitas.  Sebagai contoh, jika total alkalinitas 135 mg/l sebagai  kalsium karbonat, dosis kupri yang digunakan seharusnya adalah 1,35 mg/l.
            Untuk memberikan efek kontrol terhadap fitoplankton, penggunaan kupri sulfat pada air dengan alkalinitas sedang sampai tinggi akan lebih ekonomis jika dibuat perlakuan berulang dalam interval yang sering (jika dibutuhkan), daripada penggunaan dengan produk kupri terikat.  Tetapi pada air yang bersifat asam dan alkalinitas rendah, konsentrasi kupri sulfat  yang dibutuhkan akan mengontrol fitoplankton dapat melebihi toleransi species yang dibudidayakan terhadap kupri.

Penggunaan pada Kolam Lele
            Pada kolam lele, perlakuan kupri sulfat telah digunakan secara luas untuk mengurangi populasi BGA sebelum panen dengan tujuan untuk menghindari off flavor dan potensi penolakan oleh pabrik pengolahan ikan.  Banyak tambak lele di Tenggara Amerika Serikat telah diberi perlakuan kupri sulfat beberapa kali per tahun dalam jangka waktu sepuluh tahun atau lebih.
            Kupri cepat hilang dari air tambak, dan konsentrasi kupri kembali ke level  sebelum diberi perlakuan dalam waktu 72 jam (gambar 2).  Kupri terakumulasi di dalam endapan tambak, tetapi karena tingkat kelarutan yang rendah pada pH ≥ 6, kontaminasi air tambak oleh kupri yang dilepaskan dari endapan tidak terjadi. 
            Kolam lele dapat diberikan perlakuan kupri dengan baik pada daerah-daerah dimana tanah dasar tambak netral  atau agak basa, dan respon yang berbeda mungkin dapat dihasilkan pada tambak-tambak yang bersifat asam.  Jika air tidak dibuang dalam waktu tiga hari setelah perlakuan, dan perlakuan tersebut tidak diberikan sebelum hujan deras yang dapat menyebabkan air meluap, penggunaan kupri sulfat dalam tambak-tambak budidaya seharusnya tidak mengakibatkan kontaminasi lingkungan.  




Penggunaan pada Tambak Udang
Algisida kupri belum digunakan secara luas pada budidaya udang, tetapi seharusnya mempunyai efektifitas yang sama seperti pada tambak ikan air tawar.  Air payau umumnya memiliki nilai alkalinitas di atas 100 mg/l, sebab itu perlakuan kupri sulfat aman diberikan.

Penerapan
Kupri sulfat dapat diberikan dalam beberapa metoda.  Yang umum dilakukan adalah dengan menaburkan kristal kupri diatas permukaan tambak, dan menggantungkan kupri Sulfat pada kantong berpori di depan aerator atau dimana arus masuk ke tambak.
Kupri sulfat juga dapat digunakan untuk perlakuan pada alga yang membentuk anyaman di sekeliling pinggir tambak.  Metoda yang bisa digunakan adalah dengan menaburkan kristal kupri di atas anyaman alga teersebut.
Algisida kupri terikat dapat dicampur dengan air dan disemprotkan diatas permukaan tambak.  Beberapa pekerja juga mencampurkan algisida kupri terikat dengan air dan mengalirkan larutan tersebut dari tangki yang diletakkan di atas perahu motor tepat kedalam adukan yang disebabkan oleh baling-baling perahu motor ketika pekerja tersebut menjalankan perahu motor keliling permukaan tambak.
Ketika memberi perlakuan pada tambak dengan senyawa kupri dan kupri sulfat khususnya, adalah sangat penting mengetahui estimasi volume air tambak yang dapat dipercaya.  Kematian ikan secara besar-besaran yang berhubungan dengan perlakuan kupri di tambak ikan lele adalah diakibatkan dari kesalahan dalam perhitungan dosis.  Juga sangat penting untuk membatasi jumlah fitoplankton yang akan dikurangi pada saat itu untuk menghindari terjadinya konsentrasi DO yang rendah.  Hal ini dapat dicapai dengan memberikan perlakuan hanya pada satu bagian tambak pada sekali waktu. (Alih Bahasa : Novi F.Irawan)

Rabu, 02 Maret 2016

BIO-TREATMENT, SUATU SOLUSI MENJAGA KUALITAS AIR & KUALITAS DASAR TAMBAK

qImproved Water Quality
qImproved Sediment Quality

Budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dalam beberapa tahun belakang ini menghadapi berbagai macam masalah, antara lain : kualitas lingkungan perairan yang semakin memburuk dan infeksi penyakit terutama yang disebabkan oleh virus (WSSV, TSV, IMNV , WFD) semakin meningkat.  Sehingga perlu dicarikan solusi pemecahan masalah agar budidaya  udang L. nannamei  tetap produktif.

Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk membantu menjaga kualitas air adalah dengan menggunakan sistem  “bio-treatment “ ikan nila merah (Oreochromis niloticus). Ikan nila dapat berfungsi sebagai agen  bio-degradation dan bio filter sehingga kualitas air menjadi lebih baik dan stabil.  Kualitas air yang baik dan relatif stabil akan mengurangi faktor stressor pada udang yang menjadi triger (pemicu) infeksi virus.

Istilah “ Bio Treatment “ dalam budidaya udang adalah sistem budidaya udang dengan memberikan perlakuan ikan nila di tambak dengan tujuan  untuk membantu menjaga keseimbangan ekosistem tambak.  Konsep dari biotreatment ini adalah memanfaatkan hubungan “simbiosis mutualisme” antara udang dan ikan nila.



     Ikan nila digunakan sebagai agen bio treatment karena memiliki kelebihan – kelebihan yang bermanfaat untuk lingkunganya , ikan nila memanfaatkan sisa pakan yang tersedia di dasar tambak sehingga mengurangi limbah organik (bio degradasi), ikan nila memanfaat pakan alami yang tersedia di dasar tambak, behavior ikan nila mampu membentuk keseimbangan mikroflora air (bio filter).

Jadi, Biotreatment adalah tindakan secara biologis dalam  budidaya udang dengan menambahkan  ikan nila dalam jumlah tertentu dengan tujuan untuk :


  •           Membantu memperbaiki kualitas air
  •             Membantu memperbaiki kualitas dasar tambak
  •             Menjaga keseimbangan ekosistem tambak

Dengan kualitas air yang baik dan stabil akan mengurangi faktor pemicu (trigger) munculnya penyakit.



Pemilihan Jenis Ikan 


Peran Ikan dalam Perbaikan Ekosistem Tambak


Bio – Treatment Membantu Menjaga Kualitas Air dan Dasar Tambak


Penerapan Bio-Treatment ikan pada Tambak Intensif

Aplikasi program bio-treatment ikan nila bisa dilakukan ditambak budidaya maupun di sistem Reservoir Pond kita,  seperti ilustrasi berikut.


Metode Penebaran Ikan di Tambak Udang



Pada bulan Maret 2010 telah dilakukan suatu percobaan aplikasi program bio-treatment ke tambak budidaya yang terinfeksi IMNV (PCR). Pengamatan lapangan dilakukan dengan memonitor parameter kualitas air , pertumbuhan udang, kesehatan udang dan performance panen. Hasilnya di bandingkan dengan tambak sebelahnya yang masih satu lot sebagai kontrol.

Hasil dari pengamatan tersebut tercantum seperti data di bawah ini :


Tabel : Perbandingan antara tambak 0.25 Ha yang menggunakan program Bio-Treatment dengan tambak yang tidak menggunakan (dalam satu lot) di WM.




Sumber Data :
-          WM - Performance  Comparison Bio-Treatment and vs Convensional, Maret 2010, Noppachoke Thanachai

 KESIMPULAN SEMENTARA : 
  • Tambak dengan bio-treatment menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik di banding tambak tanpa bio-treatment  (ADG 0,188 vs 0,165).
  •  Performance FCR tidak menunjukkan perbedaan yang significant ( FCR 1,52 vs 1,50), artinya pengaruh ikan nila terhadap FCR sangat kecil.
  • Kualitas air di tambak dengan bio-treatment terlihat lebih stabil dibanding tambak tanpa bio-treatment ( Fluktuasi pH, transparency dan TAN). TAN di tambak bio treatment relatif lebih kecil, TVC sama sama rendah, hal ini diduga karena efek dari aplikasi shock pH dengan CaOH.
  •   Diversitas (keanekaragaman) plankton di tambak bio-treatment terlihat lebih tinggi.

Catatan :
-          Opersional tambak menggunakan SOP budidaya udang.
-          Tidak dibutuhkan Feeding program khusus untuk ikan.








Salam Prima

Teguh Winarno
Praktisi Budidaya CP.Prima - Indonesia





Selasa, 01 Maret 2016

MENGENAL GEJALA AWAL INFEKSI WFD (Penyakit Kotoran Putih) PADA L. vannamei

     Penyakit Kotoran Putih (WFD) telah banyak di bahas oleh berbagai ahli dan praktisi budidiya baik di Indonesia maupun dunia. Sebagian besar sudah menjelaskan penyebab dan akibat nya. Dari berbagai literatur dan sumber juga dijelaskan bahwa jika serangan WFD sudah parah ( acute), sulit bahkan belum bisa di atasi. Kondisi ini juga yang saat ini sedang kami alami.
Ada satu hal baik  yang bisa kami sharing  bahwa : Pada umumnya Pencegahan akan lebih baik dari pengobatan, tetapi jika dalam kondisi lingkungan / kondisi tertentu dan potensi infeksi penyakit ini besar maka MENGENAL GEJALA AWAL INFEKSI AKAN SANGAT MEMBANTU MEMULIHKAN KONDISI KESEHATAN UDANG.


Hasil dari pengamatan lapangan mengenai infeksi WFD kenapa sulit di sembuhkan karena terlambat identifikasi gejalanya. Kondisi yang sering kita temukan dilapangan biasanya kondis yang sudah parah :

  • Munculnya kotoran putih panjang mengambang di permukaan air.
  • Dijumpai nafsu makan udang turun drastis atau bahkan hilang selera makan (mogok makan).
  • Dijumpai udang mulai keropos ( soft shell), red body, size variasi meningkat.
  • Dijumpai mulai ada kematian.
Infeksi WFD ( Kondisi Parah)


Boonkob viriyapongsutee, 2016

Gambar Kondisi Kotoran dan Usus Udang yang terinfeksi Parah.






     Jika kita menjumpai kondisi seperti diatas,yang biasa kita lakukan adalah segera memperbaiki kondisi kualitas air dan kualitas dasar tambak secara fisik (sipon & ganti air), kimia (treatment sock pH dengan CaOH2) maupun biologis (probiotik ).
     Semua tindakan yang kita lakukan target utamanya adalah mengurangi bahan organik di tambak agar bakteri vibrio tidak berkembang. Usaha perbaikan ini jarang memberikan hasil yang maksimal, kalaupun sembuh sifatnya sementara. Dan jika kambuh lagi biasanya kondisi infeksinya semakin parah.

     Tindakan yang sama, tetapi dilakukan pada kasus infeksi tahap awal memberikan peluang kesembuhan yang lebih besar. Kuncinya adalah deteksi dini tanda-tanda munculnya penyakit WFD, kecepatan & ketepatan penanganan, konsistensi dalam menjaga kualitas air & lingkungan tambak, manajemen pakan yang tepat.
Berikut adalah tanda - tanda yang kami amati pada tambak yang terinfeksi gejala kotoran putih ( Kami sebut White Feces Syndrome / WFS).

GEJALA AWAL INFEKSI WFD :

1. Periode Persiapan Lahan dan Pembentukan Air


2. Kondisi Parameter Kualitas Air



Dari pengamatan kualitas air sebelum terjadi infeksi WFD, terlihat adanya kondisi yang berbeda antara tambak yang terinfeksi dan tidak :
  • Fluktuasi  parameter DO dan pH yang dipicu oleh kepadatan plankton ( Transparansi < 30 cm).
  • Terjadi crash & perubahan komposisi plankton yang dipicu meningkatnya Pospate (PO4).
  • Data TAN dari bulan pertama budidaya sudah tinggi.
  • TVC dari bulan pertama lebih tinggi.

3. Gejala Awal Infeksi Pada Udang



4. Gejala awal Infeksi Pada Nafsu Makan Udang dan Pertumbuhan


TINDAKAN PENCEGAHAN & MENGURANGI RESIKO TERINFEKSI



Penanganan cepat pada kasus gejala WFD telah banyak membantu memulihkan performance budidaya kami.


Penting : Pencegahan lebih baik daripada pengobatan, yang kami ketahui penyebab utama infeksi WFD adalah adanya multi infeksi dari micro organisme pathogen ( bakteri khususnya vibrio, protozoa & parasite).

Pengendalian limbah bahan organik baik dari pupuk organik, jasad plankton yang mati & utamanya sisa pakan ditambak menjadi prioritas penanganan.
Semoga bermanfaat.


Salam PRIMa

Teguh Winarno
Praktisi Budidaya CP.Prima - Indonesia